Senin, 01 Maret 2010

Sinetron : Pencitraan Indonesia yang Salah

Tulisan ini memang bukan topik baru tetapi sepertinya memang  masih harus dibicarakan dan diadakan perubahan. 

Setiap hari (dari pagi sampai malam) beberapa stasiun televisi Indonesia menayangkan sinetron. Pada promonya produser, artis maupun sutradara selalu mengatakan sinetron mereka berbeda dari sinetron-sinetron yang lain. Kenyataannya hampir semuanya sama, dimana penggambaran hitam dan putih, jahat dan baik sangatlah jelas. 

Sudah berkali-kali ditulis bahwa sinetron Indonesia tidak bermutu, karenanya jenis tontonan ini sangat tidak disarankan untuk dinikmati. Dari segi tema kebanyakan memang tidak menarik, apalagi bila ditonton tiap episodenya lama kelamaan akan membawa kebosanan. Pada detailnya sinetron Indonesia justru semakin parah. Penggambaran seorang pembantu yang berdandan menor (salah satu sinetron pernah menampilkan sosok pembantu yang alisnya tertata rapi dengan make-up yang bagus) salah satunya. Belum lagi sosok orang miskin yang tidak punya apa-apa yang digambarkan secantik Cinta Laura atau Julie Estelle benar-benar tidak mencerminkan realita kehidupan kita. Mungkin di Indonesia ada saja sosok seperti itu, tapi bukankah seharusnya kondisi yang diadopsi adalah kenyataan keseharian kebanyakan dari kita? 

Penikmat sinetron-sinetron ini selain kalangan menengah (kalangan atas tidak pernah diungkapkan sebagai penggemar tontonan ini) dan yang terbanyak adalah kalangan bawah. Penikmat dengan tingkat intelektual yang cukup tentulah bisa memilah-milah mana yang benar mana yang buruk, betapi bagaimana dengan kalangan dengan pendidikan yang kurang atau bahkan anak-anak. Seringkali ditemukan berita bahwa kejahatan atau kecelakaan pada anak saat bermain adalah disebabkan pengaruh sinetron. Kita tentunya harus malu kalau berbicara perilaku masyarakat kita yang buruk karena pengaruh budaya barat yang didapat dari film. Kenyataan penonton film barat (Amerika) sangat sedikit dibandingkan penikmat sinetron.

Sebenarnya saya tidak akan menulis ini apabila seorang teman dari Malaysia tidak bertanya, apakah sinetron (mereka menyebutnya film) menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia? Teman saya benar-benar terhanyut dengan jalan cerita salah satu sinetron Indonesia hingga dia menemukan beberapa kejanggalan.Wajah-wajah (terlalu) muda pengusaha Indonesia, cantik dan bergayanya pembantu dan orang tak punya di Indonesia sampai kejahatan-kejahatan tokoh antagonis dalam sinetron tersebut.

Menurut teman saya bangsa Indonesia sangat tidak bijak bila mengatakan TKI yang bekerja di Malaysia terutama yang berstatus pembantu rumah tangga dikatakan selalu disiksa di Malaysia. Padahal menurutnya Sinetron-sinetron Indonesia menggambarkan kesadisan (yang menurutnya) yang lebih tidak manusiawi daripada berita-berita penganiayaan TKI di Malaysia.

Perlu diketahui bahwa saat ini banyak sinetron Indonesia yang diputar di Malaysia (dan beberapa negara lain) dan sepertinya sama dengan yang diputar di Indonesia sangatlah tidak bermutu.
Sinetron produksi Indonesia memang khas berbeda dengan telenovela, sinema tv India, drama Korea maupun Mandarin. Sayangnya kekhasan tersebut berupa buruknya citra yang ditampilkannya. 

Bagaimanapun juga sinetron sudah menjadi suatu industri yang tidak bisa dianggap remeh di Indoensia. Tiap hari semakin banyak wajah-wajah baru yang muncul di layar tv belum termasuk ratusan lagi yang mengantri tiap hari untuk mengikuti casting. Industri sinetron yang terus berkembang ini sayangnya tidak diikuti dengan perkembangan mutunya. Mengharapkan fatwa haram (sepertinya) produksi dan penayangan sinetron jelas tidak mungkin. Harapan hanya tinggal dialamatkan kepada pelaku-pelaku industri ini untuk benar-benar menjadikan produk-produknya mendidik untuk masyarakat. Yang jelas jadikanlah sinetron suatu pencitraan yang positif bagi Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar