Selasa, 17 Mei 2011

Menapaki Jejak Sriwijaya - Candi Muara Takus Dan Pencarian Pengakuan Akar Kejayaan

Penemuan Cornet De Groot pada tahun 1860 mengangkat nama Candi Muara Takus di kalangan para ahli di dunia saat itu. Candi berbahan batu bata yang saat itu diperkirakan berasal dari zaman Hindu setelah melalui penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Verbeek dan Van Delden diungkapkan sebagai bangunan Buddha.

Melalui penelitian dan pengukuran yang dilakukan J.W. Yzerman pada tahun 1889, candi Muara Takus memiliki luas 1.25 km2 dan dikelilingi dinding tembok seluas 74m x 74m yang terbuat dari batu pasir putih. Hasil dari pengukuran dan penelitian tersebut J.W. Yzerman dengan dibantu IR. Delprat membuat sketsa apa yang ditemukan saat itu dan perkiraan bentuk candi sebenarnya.

Sketsa yang dibuat tersebut mengungkapkan perkiraan luas sebenarnya Candi Muara Takus adalah seluas 9 hektar dengan dugaan terdapat 20 buah stupa. Dalam sketsa tersebut bahkan digambarkan ujung stupa berlapiskan emas setinggi 6m dan terdapat relief di beberapa sisinya. Sayangnya relief tersebut berikut arca singa dan teratai yang diceritakan oleh Cornet De Groot dan peneliti-peneliti sesudahnya saat ini tidak ditemukan lagi.

Pada kompleks candi Muara Takus saat ini terdapat bangunan candi Mahligai, candi Palangka, candi Bungsu, candi Tua dan pagar keliling. Selain itu masih ditemukan pula bangunan-bangunan yang belum diketahui secara pasti kegunannya. Salah satu bangunan diduga merupakan tempat pemandian putri.


Sumber batu bata yang digunakan untuk membangun Candi Muara Takus dibuat dari tanah di desa Pongkai. Batu bata yang telah dibuat semula diangkut dengan menggunakan sampan melalui sungai ke Muara takus. Karena mulai dirasakan berat, maka pengangkutan diubah dengan mengunakan manusia yang dibariskan dan memindahkan batu bata bata tersebut dari tangan ke tangan. Dapatlah dibayangkan banyaknya manusia yang melakukan pekerjaan tersebut mengingat jarak yang harus ditempuh sepanjang 8 km.

Menurut cerita turun temurun candi tersebut dibuat atas permintaan seorang putri dari India yang dibawa ke Muara Takus oleh Datuk Tiga Ahli setelah berlayar ke India. Putri tersebut di kalangan masyarakat dikenal sebagi Putri Reno Wulan atau Putri Induk Dunia. Candi yang dibuat sebagai syarat kerelaannya dibawa ke negeri tersebut. Putri tersebut meminta candi yang dibuat serupa dengan candi di tempat orang tuanya berasal. Mungkin itulah sebabnya candi Muara Takus memiliki kemiripan dengan Candi Acoka (Ashoka) di India.

Fenomena yang pernah terjadi adalah sekelompok gajah dipimpin seekor gajah putih pada malam purnama mendatangi candi dan melakukan posisi seperti sujud abdi menyembah kepada junjungannya. Kawanan gajah berjumlah kurang lebih 30 ekor tersebut kemudian mengelilingi candi Muara Takus. Kejadian yang lama terjadi sebelum pembangunan PLTA Koto Panjang tersebut banyak disaksikan masyarakat sekitar dan menjadi cerita menarik yang disampaikan kepada pengunjung kawasan tersebut. Dikaitkan dengan legenda dan mitologi Budha, gajah digambarkan sebagai salah satu reinkarnasi Budha. Gajah disebutkan juga sebagai simbol dan kendaraan seorang raja. Fenoma yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa candi Muara Takus adalah tempat pernah bersemayamnya raja dan ratu kerajaan Budha pada jaman dahulu.

Meskipun masih terjadi silang pendapat tentang kapan didirikannya candi Muara Takus, tetapi peninggalan tertua hasil dari penggalian di sekitar candi ditemukan fragmen perunggu dengan tulisan Nagari yang diperkirakan berasal dari abad VII.


MUARA TAKUS AKAR KERAJAAN SRIWIJAYA

Penemuan Candi Muara Takus sebagai situs agama Budha terbesar di Sumatera dan dikaitkan dengan penemuan terakhir yang merujuk abad VII sebagai saat keberadaannya, memunculkan suatu pendapat baru. Pendapat yang pernah juga dikemukakan oleh J.L. Moens adalah pusat kerajaan Sriwijaya adalah di Muara Takus.

Kerajaan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera. Pengaruhnya selain di nusantara juga memiliki kekuasaan di banyak wilayah di Asia Tenggara. Kerajaan ini disebut menjadi pusat perdagangan sekaligus pengendali jalur perdagangan maritim di Selat Malak, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa dan Selat karimata. Kejayan kerajaan Sriwijaya tersebut diperkirakan pada abad ke VII. Bentuk kerajaan maritim diperkirakan dapat mengakibatkan pusat kerajaan berpindah-pindah. Inilah yang membuat banyaknya silang pendapat dimana pusat kerajaan atau dimana akar mula kerajaan Sriwijaya berada.

Mengacu pada catatan perjalanan I-Tsing yang mengabarkan keberadaan kerajaan Sriwijaya, pernyataan J.L. Moens dapat diyakini. I-Tsing yang seorang biarawan China melakukan perjalanan lewat laut ke India untuk mendapatkan teks agama Budha dalam bahasa Sansekerta. Semasa perjalanannya tersebut ia pernah mengunjungi kerajaan Sriwijaya selama enam bulan pada tahun 671. Selanjutnya pada tahun 685 – 695 I-Tsing tinggal di Sriwijaya.

Dalam catatan yang dibuatnya disebutkan bahwa ibukota Sriwjaya dikelilingi oleh benteng dan didiami oleh lebih dari 1000 orang Bhiksu. Menurutnya pada bulan ke delapan bayangan tongkat diwalacakra tidak menjadi lebih panjang atau pendek dan pada tengah hari orang berdiri tanpa bayangan.

Keberadaan Muara Takus yang terletak di daerah garis katulistiwa dirasakan cocok dengan catatan I-Tsing. Selain itu benteng yang disebutkan juga sama dengan kondisi candi yang dikelilingi tembok yang terbuat dari batu bata pasir putih. Bangunan candi yang biasanya diperuntukkan bagi upacara keagamaan dan tempat berkumpul Bhiksu yang jumlahnya bisa jadi lebih dari 1000 orang.

Beberapa penemuan seperti prasasti dan situs lainnya yang terdapat di banyak daerah di Sumatera memang memunculkan klaim dari daerah-daerah tersebut sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Fakta yang ada tidak ditemukannya peninggalan kerajaan Sriwijaya sebesar Candi Muara Takus dan berumur lebih tua di daerah lain tersebut dapat menjadi satu pedoman.

Selain itu menurut seorang tokoh budayawan Kampar, Drs. Abdul Latif Hasyim yang melakukan penelitian independen menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di beberapa wilayah di Sumatera justru mengarah ke kondisi, budaya dan kebiasaan yang ada di Kampar atau Muara Takus.
Salah satu keraguan Muara Takus sebagai pusat kerajaan Sriwijaya yang masih muncul adalah bahwa Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang kekuatan armadanya bahkan berjaya menguasai kawasan Asia Tenggara. Tentu tidaklah mungkin kerajaan maritim berada di tepi sungai yang sebuah kapal sedangpun tidak mungkin berlabuh disana.

Penemuan sebuah dayung besar yang biasanya digunakan pada sebuah kapal besar pada jaman dahulu membersitkan keyakinan baru. Penemuan berikutnya berupa kompas kuno dari bambu yang diperkirakan serupa dengan kompas tertua yang ditemukan di Cina. Kompas pada jaman dahulu hanya digunakan oleh bangsa-bangsa penjelajah samudera.

Dua belas abad yang lalu diperkirakan muara sungai Kampar Kanan terletak jauh ke Barat dari tempatnya sekarang. Teori fenomena alam yang merubah laut menjadi endapan dan daratan pada ratusan tahun lalu mengemuka, terutama setelah ditemukan sumur dengan sumber air berkadar garam serupa air laut di kawasan sekitar candi Muara Takus.

EKSPLORASI CANDI MUARA TAKUS UNTUK MENGUNGKAP MISTERI

Mendukung pendapat dan teori keberadaan candi Muara Takus dan hubungannya dengan kerajaan Sriwijaya tentulah diperlukan penelitian yang lebih mendalam. Peneliti independen yang juga seorang tokoh budayawan Kampar, Drs. Abdul Latif Hasyim mengharapkan bantuan dan peran tidak saja dari Pemerintah Indonesia tetapi bahkan lembaga dunia seperti Unesco.
harapan penggalian untuk mengungkap misteri

Abdul Latif dalam salah satu kesempatan forum seminar di Yogyakarta yang dihadiri oleh kalangan ilmuwan dan akademisi, mempresentasikan keyakinannya tentang akar kerajaan Sriwijaya di Muara Takus. Presentasi yang mendapatkan sambutan bagus tersebut membersitkan keinginan dari kalangan ilmuwan pada saat itu untuk membuat suatu kajian ilmiah dengan mengundang kalangan peneliti nasional dan internasional. Sayangnya kami (Pemerintah Kabupaten Kampar) belum dapat melaksanakan karena terbentur dengan kondisi pendanaan.


Selain itu diutarakannya keinginan untuk mengusahakan candi Muara Takus sebagai Warisan Dunia yang diakui oleh Unesco. Tentunya dengan jalan itu penelitian, eksplorasi dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab dunia selain masyarakatnya sendiri. Dalam beberapa waktu yang berbeda beberapa paranormal dari beberapa daerah di Indonesia menyatakan penggalian ke dalam tanah candi Muara Takus perlu dilakukan. Selain kekayaan yang dapat ditemukan dipercaya bangunan candi Muara Takus tersebut berupa 8 tingkat. Hal ini hampir sama dengan sketsa perkiraan yang dibuat J.W. Yzerman dan IR. Delprat.
penemuan di lahan sawit penduduk, diperkirakan sebagai pelataran

Eksplorasi juga memungkinkan munculnya bukti-bukti baru yang dapat mengungkap misteri keberadaan dan kejayaan Sriwijaya yang sebenarnya. Sejarah mungkin akan diluruskan dan bukan tidak mungkin kejayaan yang dulu dimiliki dapat diraih kembali. Bukan tidak mungkin kebanggaan Indonesia sebagai pusat kekuatan di dunia internasional akan bertambah Harapan yang juga muncul dari Bupati Kampar H. Burhanudin Hussein yang selain ingin mengangkat candi Muara Takus untuk lebih dikenal juga mengajak generasi muda pada khususnya untuk mencintai sejarah.

Tulisan ini oleh-oleh dari PWI Tour 2011 dan dimuat di RiauInfo.com 
http://riauinfo.com/main/news.php?c=8&id=13642